INVOLUSI KOTA DI ASIA TENGGARA

Advertisement
Advertisement
Baru pada tahun 1974  Hans-Dieter Evers meneliti tentang mengapa menyerbunya penduduk pedesaan ke kota-kota besar dengan sample kota padang. kota yang kebanjiran manusia dari pedesaan itu menurut ia juga menderita involusi kota. bahkan seluruh perkotaan di asia tenggara menampakangejala itu, kota tak mampu menampung kaum urbanisan yang makin banyak itu.

sosiolog evers memandang kota sebagai pusat konsumsi kolektif, sehingga dalam mempelajari proses urbanisasi kesimpulanya diringkaskanya kedalam dua aspek, yaitu: aspek struktur ekoplogi dan aspek konflik perkotaan. adapun uraian terperincinya ditulis dalam bukunya yang berjudul sosiologi perkotaan (19982) demikian;

perbedaan kaya dan miskin nampak menonjol di kota-kota kita, karena dua kelompok itu terdapatnya atu tempat tinggalnya berdekatan maka sukar untuk menyusun pengelompokan kota menurut kenyataan konsentrasinya masing-masing kelompok pendududk itu. berdekatan dengan slum area. dari situ dapat di buuktikan bahwa golongan tidak mampu berusaha keras untuk ikut serta dalam konsumsi kolektif yang tersedia secara terpusat. karena itu lokasi pecomberan ada di sekitar statsiun kereta api, belakang hotel-hotel besar dan belakang pasar.penduduk gubuk liar hidup dari barang-barang bekas atau buangan sehingga akonomi mereka disebut juga ekonomi tong sampah. itualah penjelasan  mengenai struktur ekologi sosial sebagai aspek pertama.

karena kota-kota besar kecil di asia tenggara pada umumnya ada dalam sistem kapitalistis, maka munculah serangakaina kontras yang memuat konflik antara konsumsi perseorangan dan konsumsi kolektif, juga antara konsumsi perseorangan dan produksi umum. sudah semestinya bahwa barang dan jasa itu lebih diadakan untuk melayani kaum menengah dan atasan sebaliknya kaum miskin selalu diancam dengan aneka gusuran, larangan dan gencetan.


kota jakarta dan manila pernah dinyatakan sebagai kota tertutup bagi pendatang baru. mereka yang tanpa kartu penduduk dan menggelandang dapat di transmigrasikan, sedang usaha perbecekan dihapus tahap demi tahap dengan perikemanusiaan. diluar itu konflik sebagai aspek kedua juga mencakup konflik antargolongan etnik, maksudnya yang lebih berarti rasial. kekayaan kaum pedagang non pribumi menjadikan kaum miskin iri, lalu terjadi berbagai keonaran, meskipun ini dapat juga terjadi karena hasutan pihak ke tiga.

dalam menyimpulkan risetnya tentang gejala involusi kota, evers menyimpulkan bahwa urbanisasi murni terutama berlansung di kota-kota terbesar di negri-negri asia tenggara, ini menambahkan tendensi konsentrasi kota. selanjutnya gejala involusi kota terutama terjadi di kota kembang dan metropolitan. adapun di kota-kota kecil tak terjadi perubahan-perubahan yang signifikan, selain pertambahan penduduk yang di ikuti oeh perluasan daerah pemukiman, tetapi tanpa pola-pola baru segresi daerah kediaman.

migrasi dari kota kecil ke kota yang besar yang mendorong pembahruan sebagaimana pengalaman pada gejala urbanisasi di eropa pada abad lalu, tidak di jumpai di negara berkembang. yang muncul di kota justru kaum proletar di sekitar industri modern dengan segala konsekuensi sosial politiknya ini justru menghambat diferensiasi dan perkembangan sosial kota-kota kecil kita. karena kebanyakan kota cenderung tumbuh menurut tingkat yang sama dengan jumlah anggota masyarakat, maka migrasi dari pedesaan ke kota besar haruslah diimbangi oleh migrasi dari kota-kota kecil ke kota besar.

Advertisement